Satu Kata Sejuta Makna

Para pencinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya,
atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya.
Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi.
Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka
menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya.
{Anis Matta, Serial Cinta}
***
Cinta, sebuah kata yang menyejarah. Membahasnya, maka tak akan ada habisnya. Begitulah cinta, ia tertakdir menjadi seindah-indah kata dan seluas-luas makna, saat ombak rasa berkecamuk dalam lautan jiwa. “Cinta,” tulis Anis Matta dalam Serial Cinta-nya, “adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari.”
Pada diri tiap insan, rasa cinta kepada sesama adalah fitrah penciptaan. Karenanya, semua insan pasti memilikinya. Tanpa terkecuali.
“Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” ungkap Jalaluddin ar-Rumi. Maka, tugas besar kita di alam jiwa adalah berusaha untuk menumbuhkan rasa cinta itu kepada semua orang yang kita cintai. Tak lebih. Lalu, memupuknya agar ia terawat indah. Dengan mengejewantahkan kata cinta menjadi mencintai. Bukan sebaliknya, dicintai.
Ketika kita merubah kata cinta menjadi mencintai, berarti ia adalah perubahan dari kata benda menjadi kata kerja yang aktif. Subjeknya adalah tiap diri kita, objeknya adalah semua orang. Maka dalam makna ini, cinta adalah fitrah penciptaan. Karena atas semua orang, kita punya hak untuk mencintainya. Tapi, ketika kita merubah kata cinta menjadi dicintai, berarti ia adalah  perubahan dari kata benda menjadi kata kerja yang pasif. Subjeknya adalah semua orang, objeknya adalah tiap diri kita. Maka dalam makna ini, cinta termakna sebagai sesuatu yang salah. Kenapa? Karena ada unsur pemaksaan. Ya, pemaksaan itu adalah kita menginginkan semua orang harus mencintai kita. Seolah-olah, orang lain mempunyai hak dan keharusan terhadap diri kita. Padahal sejatinya tidak demikian.
Dari cinta menjadi mencintai. Maka, ia adalah sebuah perpindahan dari sesuatu yang ada namun rapuh menjadi lebih hidup; bergerak, bertumbuh dan berkembang. Lalu, menggugah dan menginspirasi. Memberi dan menumbuhkan. Respek dan apresiasi. Begitulah cinta bekerja. Bagi para pecinta sejati, kerja-kerja cintanya adalah semua sikap dan tingkah laku yang nampak kepada yang di cintai. Dan kadang, ia adalah kerja-kerja rahasia; tak nampak, tapi terasa. “Allaahu Akbar!” Ujar Salman al-Farisi ketika khithbahnya ditolak oleh wanita yang menawan hatinya, “Segala mahar dan nafkah yang telah saya siapkan, hari ini juga saya serahkan pada Abu ad-Darda’. Segeralah kalian menikah, saya siap menjadi saksinya insyaAllah.”
Begitulah Salman al-Farisi radhiyallaahu ‘anhu bersikap. Dengan kebesaran hati dan jiwa, tak sedikitpun ia nampakkan kesedihan dirinya. Salim A. Fillah ketika mengangkat kisah ini dalam karyanya, Dalam Dekapan Ukhuwah, beliau mengatakan, “Inilah gairah yang menggelora kepada saudara yang dicintai. Gairah untuk selalu memberi.” Dia sama sekali tidak menyesal telah mengajak saudaranya, Abu ad-Darda’ untuk menemaninya meminang gadis tersebut. Awalnya, dengan maksud agar pinangannya mudah diterima. Karena ia sadar, ia orang asing di Madinah.
Sungguh mulia dan bijak. Dia sadar bahwa mencintai itu fitrah; sesuatu yang lumrah. Tetapi, ketika cinta itu tak berbalas, ia juga menyadari bahwa harus dicintai seseorang itu adalah sesuatu yang tidak benar. Karena setiap orang mempunyai hak atas sejarah cintanya.
Kisah Salman ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa kerja jiwa; yaitu mencintai, tak harus bermuara sebagaimana yang kita inginkan; yaitu, dia pun mencintai kita. Dan, memang seperti itulah cinta yang fitrah. Ia adalah cinta yang wajar. Hak kita hanya sebatas mencintai saja, tak lebih. Selebihnya hak Allah ‘Azza wa Jalla, apakah Dia berkendak agar orang-orang yang kita cintai juga bisa mencintai kita atau tidak.
Maka di alam jiwa, kuatkan dan lapangkanlah hatimu untuk mencintai. Apatah mencintai dalam arti yang khusus, yaitu kepada lawan jenis. Ataukah secara umum, yaitu kepada semua orang. Dan, bukan berharap untuk dicintai. Biarlah atas kerja mencintai kita, hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang membalasnya. Karena mencintai adalah tugas iman. Sebagaimana sabda Sang Nabi dari Anas ibn Malik radhiyallaahu ‘anhu, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat iman sebelum dia mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.” {H.r. Ibnu Hibban, shahih}
Berbeda dengan cinta kepada Yang Maha Mencintai. Dialah yang menganugerahkan cinta kepada kita. Maka, kerja cinta kita harus totalitas, bukan sewajarnya sebagaimana kita mencintai seseorang. Maka tak ada yang namanya cinta tak berbalas. Saat cinta kita terurai menjadi kerja untuk menjalankan segala yang diperintahkanNya dan menjauhi segala yang dilarangNya dengan penuh ketaatan. Semata-mata hanya karena iman dan ingin meraih ridhaNya.
Cinta adalah fitrah penciptaan. Cinta yang paling agung dan mulia adalah cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian cinta kepada utusan pembawa risalahNya yang termulia, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka disini, mencintailah secara totalitas. Karena ia pasti berbalas. Di dunia, ridhaNya akan menyertai. Di akhirat, syafa’at  Rasulullah akan menolong kita. Dan di surga, bidadari-bidadari pun merindukan kehadiran hamba-hamba yang saling mencinta karenaNya.
***
Sumber Inspirasi:
  1. Anis Matta. 2012 (Cet. 5). Serial Cinta. Jakarta: Tarbawi Press
  2. Salim A. Fillah. 2012 (Cet. 5). Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media
  3. Abu Hamzah Abdul Lathif. 2013 (Cet. 1). 333 Mutiara Kebaikan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar (Judul asli: Badzlul Ma’ruf)

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Satu Kata Sejuta Makna ini dipublish oleh Unknown pada hari Senin, 07 April 2014. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Satu Kata Sejuta Makna
 

0 komentar:

Posting Komentar